Minggu, 18 Juni 2017

BUKA PUASA SAMBIL MENANGIS ...

Suatu ketika Imam Malik pernah menangis ketika hendak berbuka puasa.

Muridnya bertanya, “Kenapa Tuan menangis?”

Imam Malik menjawab, “Aku sedih melihat makanan yang banyak ini Karena teringat dengan Rasulullah. Baginda Rasulullah berbuka dengan makanan yang sedikit tetapi ibadahnya banyak. Sedangkan aku berbuka puasa dengan makanan yang banyak tetapi ibadahku sedikit”.

-selesai-

Hasbiyallah wa Ni'mal Wakiil....

Sabtu, 20 Mei 2017

SESUNGGUHNYA ...

Percayailah seseorang ...
Yang mampu merasakan kesedihanmu di balik senyumanmu
Yang mampu mengerti pikiranmu di saat engkau terdiam
Yang mampu merasakan kasih sayangmu di saat kemarahanmu
Karena dialah yang bisa mengerti tentang dirimu
> Terkadang engkau harus berlari jauh...
Agar engkau tahu siapa yang akan datang kepadamu
> Terkadang engkau harus berbicara pelan...
Agar engkau tahu siapa yang masih mau mendengarkanmu
> Terkadang engkau harus mencoba mengambil keputusan yang kurang tepat...
Agar engkau tahu siapa yang akan menunjukkanmu pada keputusan yang benar
> Terkadang engkau harus melepaskan orang yang sangat engkau cintai...
Agar engkau tahu apakah dia akan kembali setia di sisimu
Sesungguhnya...
Ketika kita pergi bersembunyi hanyalah untuk ditemukan
Ketika kita berjalan jauh hanyalah untuk melihat siapa yang masih setia mengikuti
Ketika kita menangis agar kita tahu siapa yang dengan ikhlas menghapus air mata kita ...
( AEU, 19.12.12 )

Sabtu, 01 April 2017

MENIKAH : Seni Mengalah ...


Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?
Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.
“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)
Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH
Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu menjalankannya.
Mengalah
Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.
Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling.
Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.
Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.
Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”
Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.
Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.
Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”
Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.
Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta
Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.
Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.
Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.
Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami.
Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.
Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.
***
Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”
Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:
“Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah ...”
Untukmu yang berani mengalah ...
( Wulan Darmanto )

Senin, 27 Maret 2017

CINTA DALAM DIAM ...


Ayah di dalam kamar, beberapa kali batuk²  ...

"Cinta ayahmu kepadamu luar biasa, tetapi lebih banyak disimpan dalam hati karena kau perempuan", kata ibu.
Aku mendengarkan ibu dengan heran.

"Ketika kau melanjutkan kuliah ke Jakarta dan aku bersama ayahmu mengantarmu ke stasiun, kau dan aku saling berpelukan.
Ayahmu hanya memandang. Dia bilang juga ingin memelukmu, tapi sebagai laki² tak lazim memeluk anak perempuan di depan banyak orang, maka dia hanya menjabat tanganmu, lalu berdiri sampai kereta itu menghilang", kata ibu.

"Ibu memang sering menelponmu.
Tahukah kau, itu selalu ayahmu yg menyuruh dan mengingatkan.

Mengapa bukan ayahmu sendiri yg menelpon?
Dia bilang, "Suaraku tak selembut suaramu, anak kita harus menerima yg terbaik".

"Ketika kamu diwisuda, kami duduk di belakang.
Ketika kau ke panggung dan kuncir di togamu dipindahkan rektor, ayahmu mengajak ibu berdiri agar dapat melihatmu lebih jelas.
"Alangkah cantiknya anak kita ya bu," kata ayahmu sambil menyeka air matanya.

Mendengar cerita ibu di ruang tamu, dadaku sesak, mungkin karena haru atau rasa bersalah.

Jujur saja selama ini kepada ibu aku lebih dekat dan perhatianku lebih besar. Sekarang tergambar kembali kasih sayang ayah kepadaku. Aku teringat ketika naik kelas 2 SMP aku minta dibelikan tas. Ibu bilang ayah belum punya uang.

Tetapi sore itu ayah pulang membawa tas yg kuminta.
Ibu heran. "Tidak jadi ke dokter?" tanya ibu. "Kapan² saja.
Nanti minum jahe hangat, batuk akan hilang sendiri"
Kata ayah.

Rupanya biaya ke dokter, uangnya untuk membeli tasku, membeli kegembiraan hatiku, dengan mengorbankan kesehatannya.

"Dulu setelah prosesi akad nikahmu selesai, ayahmu bergegas masuk kamar.
Kau tahu apa yg dilakukan?" tanya ibu.

Aku menggeleng. "Ayahmu sujud syukur sambil berdoa untukmu.
Air matanya membasahi sajadah.

Dia mohon agar Allah melimpahkan kebahagiaan dalam hidupmu.
Sekiranya kau dilimpahi kenikmatan, dia mohon tidak membuatmu lupa zikir kepada-Nya.

Sekiranya diberi cobaan, mohon cobaan itu adalah cara Tuhan meningkatkan kualitas hidupmu.

Lama sekali dia sujud sambil terisak.
Ibu mengingatkan banyak tamu menunggu.
Dia lalu keluar dengan senyuman tanpa ada bekas air di pelupuk matanya".

Mendengar semua itu, air mataku tak tertahan lagi, tumpah membasahi pipi.

Dari kamar terdengar ayah batuk lagi.
Aku bergegas menemui ayah sambil membersihkan air mata.

"Kau habis menangis?"
Ayah menatapku melihat sisa air di mataku.
"Oh, tidak ayah!" aku tertawa renyah.
Ku pijit betisnya lalu pundaknya.
"Pijitanmu enak sekali seperti ibumu", katanya sambil tersenyum.

Aku tahu, meski sakit, ayah tetap ingin menyenangkan hatiku dengan pujian.

Itulah pertama kali aku memijit ayah.
Aku melihat betapa gembira wajah ayah. Aku terharu.

"Besok suamiku menyusulku, ambil cuti seminggu seperti aku.
Nanti sore ayah kuantar ke dokter", kataku. Ayah menolak. "Ini hanya batuk ringan, nanti akan sembuh sendiri".

"Harus ke dokter, aku pulang memang ingin membawa ayah ke dokter, mohon jangan tolak keinginanku", kataku berbohong.

Ayah terdiam. Sebenarnya aku pulang hanya ingin berlibur, bukan ke dokter.

Tapi aku berbohong agar ayah mau kubawa ke dokter.
Aku bawa ayah ke dokter spesialis.

Ayah protes lagi, dia minta dokter umum yg lebih murah. Aku hanya tersenyum.

Hasil pemeriksaan ayah harus masuk rumah sakit hari itu juga.
Aku bawa ke rumah sakit terbaik di kotaku.

Ibu bertanya setengah protes. "Dari mana biayanya?".
Aku tersenyum.
"Aku yg menanggung seluruhnya bu.
Sejak muda ayah sudah bekerja keras mencari uang untukku.

Kini saatnya aku mencari uang untuk ayah.
Aku bisa! Aku bisa bu!".

Kepada dokter aku berbisik; "Tolong lakukan yg terbaik untuk ayahku dok, jangan pertimbangkan biaya", kataku. Dokter tersenyum.

Ketika ayah sudah di rumah dan aku pamit pulang, aku tidak menyalami, tetapi merangkul dengan erat untuk membayar keinginannya di stasiun dulu.
"Seringlah ayah menelponku, jangan hanya ibu", kataku.
Ibu mengedipkan mata sambil tersenyum.

Dalam perjalanan pulang, aku berfikir, berapa banyak anak yg tidak paham dengan ayahnya sendiri seperti aku.

Selama ini aku tidak paham betapa besar cinta ayah kepadaku.

Hari² berikutnya aku selalu berdoa :
"Rabbighfir lii wa li waalidayya warhamhuma kama rabbayaani shagiira".

Namun kini dengan perasaan berbeda.
Terbayang ketika ayah bersujud pada hari pernikahanku sampai sajadahnya basah dengan air matanya.

NB : Moga menjadi contoh bagi para anak, betapa besar nya cinta kasih seorang ayah Tidaklah jauh berbeda dgn cinta kasih seorang ibu

Sabtu, 25 Maret 2017

Di Balik Jejak Kehidupan ...

Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah.

"Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya.
Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah,

"Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek".
"Iya..." jawab sang Ayah.

Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.
Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam,

"besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar,
"jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya".
Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa".
Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah.
Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut namun yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam.
Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Ayah ini meyakini bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba kecuali sebatas hamba tersebut mampu memikulnya, dan Ia selalu berprasangka baik kepada Allah dengan meyakini bahwa tiada cobaan yang tidak berakhir dan Jalan keluar selalu akan datang kepada hamba-hamba yang hanya bersandar pada pertolongan dan kasih sayangNYA semata.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.
Semoga.

Sebuah Renungan ...

*Animals Schooling*

(untuk direnungkan orang tua dan guru ...)

Di sebuah Hutan belantara berdirilah sebuah sekolah para  binatang.

Statusnya "disamakan" dengan sekolah manusia.

Kurikulum sekolah tersebut mewajibkan setiap siswa lulus semua pelajaran dan mendapatkan ijazah.

Terdapat 5 mata pelajaran dlm sekolah tsb.
a. Terbang
b. Berenang
C. Memanjat
d. Berlari
E. Menyelam

Banyak siswa yang bersekolah di "animals schooling", ada elang, tupai, bebek, rusa dan katak.

Terlihat diawal masuk sekolah, masing2 siswa memiiki keunggulan pada mata pelajaran tertentu.

Elang, sangat unggul dalam terbang. Dia memiliki kemampuan yg berada diatas kemampuan binatang lain.

Demikian juga katak, sangat mahir pd pelajaran menyelam.

Namun, beberapa waktu kemudian krn "animals schooling" mewajibkan semua harus lulus 5 Mapel.

Maka mulailah si Elang belajar memanjat dan berlari.

Tupai pun berkali-kali jatuh dari dahan yg tinggi krn belajar terbang.

Bebek seringkali ditertawakan meski sdh bisa berlari dan sedikit terbang. Namun sdh mulai tampak putus asa ketika mengikuti pelajaran memanjat.

Semua siswa berusaha dg susah payah namun belum jg menunjukkan hasil yg lebih baik.

Tidak ada siswa yg menguasai 5 mapel tsb dengan sempurna.

Kini, kelamaan.
Tupai sudah mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak dapat berenag dg baik krn sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek, krn terlalu sering belajar memanjat.

Kondisi inilah yang saat ini terjadi mirip dengan kondisi pendidikan kita.
Orangtua berharap anaknya serba bisa.
Sangat stress ketika matematikanya dapat nilai 5.

Les A, Kursus B, Les C, kursus D, private E dsb dan berjibun kegiatan lain tanpa memperhatikan dan fokus dipotensi anaknya masing masing

Mari kita syukuri karunia  luar biasa yg sdh Allah amanahkan kpd kita para orangtua yg memiliki anak2 yg sehat dan Lucu.

Setiap anak memiliki belahan otak dominannya masing2,

Ada yg dominan di Limbik kiri, neokortek kiri, limbik kanan, neokortek kanan, juga batang otak.

Sehingga masing2 memiliki kelebihannya masing2...

Fokuslah dengan kelebihan itu, kawal, stimulasi dan senantiasa fasilitasi agar terus berkembang.

Janganlah kita disibukkan dengan kekurangannya.

Karena sesungguhnya setiap anak yg terlahir didunia ini adalah cerdas (dikelebihannya msg2), istimewa dan mereka adalah Bintang yang bersninar diantara kegelapan Malam.

Inilah saatnya kita bergandeng tangan  menggali potensi diri anak & anak didik kita seoptimal mungkin.

Selamat berjuang mengetuk pintu langit di sepertiga malam Ayah & Bunda. Semoga الله mudahkan segala urusan kita mengiringi kesuksesan ananda kelak di dunia & di akhirat... Aaamiin